Blog Ar-Rahmah
MOHON DOA RESTU

Insya Allah akan dibuka PG/TK-SD AR-RAHMAH
Tahun Ajaran 2013/2014

Zakat, Infaq, Waqof dan Shodaqah

Dapat disalurkan ke :

Bank BNI:
No. Rek. 0880000369
a/n. Yayasan Ar-Rahmah Wal Barokah

Bank Muamalat:
No. Rek. 0115016596
a/n. Yayasan Ar-Rahmah Wal Barokah

Bank Syariah Mandiri:
No. Rek. 0087068374
a/n. Agus QQ Yayasan Ar-Rahmah Wal Barokah

Mengajak Anak Kecil Berpuasa

Dari Rubayyi’ binti Mu’awwidz; dia berkata, “Rasulullah mengutus untuk mengumumkan pada pagi hari asyura’ di wilayah kaum Anshar yang berada di sekitar kota Madinah.
من كان أصبح صائما فليتمّ صومه ومن كان أصبح مفطرا فليتمّ بقية يومه
Barang siapa yang pagi hari ini berpuasa, hendaklah menyelesaikannya. Barang siapa yang tidak berpuasa, hendaknya menahan (makan dan minum) sampai malam.’

Setelah adanya pengumuman itu, kami berpuasa dan mengajak anak-anak untuk melaksanakan puasa. Kami juga mengajak mereka ke masjid dan memberikan mereka mainan dari kulit (wol). Jika mereka menangis karena lapar, kami menyodorkan mainan sampai waktu berbuka puasa tiba.” (HR Bukhari dan Muslim)
Di antara pelajaran yang bisa diambil dari riwayat di atas adalah:

[1] Para sahabat sangat perhatian untuk mengajak dan mendidik anak-anak mereka melaksanakan puasa.
Ini jelas terlihat pada strategi mereka membuat mainan dan mengalihkan perhatian anak-anak mereka dari keinginan untuk makan, sehingga puasa mereka tuntas dan sempurna.

[2] Anak-anak yang diperintah berpuasa oleh para shahabat adalah anak-anak yang masih dalam usia kanak-kanak.
Hal ini dipertegas oleh ucapan Rubayyi’ binti Mu’awwidz, “Kami mengharuskamn anak-anak kami yang masih kecil untuk berpuasa.” Juga ucapan Rubayyi’, “Maka kami membuat sebuah mainan dari kulit untuk mereka. Jika salah satu dari mereka menangis karena merasa lapar, kami menyodorkan mainan kepadanya.” Ini  tentunya dilakukan kepada anak yang masih berusia kanak-kanak, tidak dilakukan kepada anak yang sudah besar.

[3] Bersikap hikmah dan cerdas saat beramar ma’ruf nahi mungkar terhadap anak-anak.
Termasuk pelajaran yang bisa diambil di sini adalah tindakan para shahabat membuatkan mainan untuk anak-anak mereka –saat melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar. Oleh karena itu, hendaknya para orang tua mengambil contoh dari tindakan para shahabat tersebut, serta menerapkannya dalam melakukan amar ma’ruf kepada anak-anak mereka.

[4] Para shahabat sangat perhatian untuk mendidik anak-anak mereka melaksanakan puasa ‘asyura.
Bagaimana perhatian mereka terhadap puasa Ramadhan setelah diperintahkan? Untuk mengetahuinya, mari kita cermati ucapan Amirul Mu’minin Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu terhadap peminum khamr yang dihadapkan kepadanya pada bulan Ramadhan, “Celaka kamu! Anak-anak kami yang masih kecil saja berpuasa.” Kemudian beliau memukulnya. (Shahih Al-Bukhari, no. 1690)

[5] Salah satu puasa yang dilakukan anak-anak para shahabat adalah puasa ‘asyura.
Puasa ini dihukumi marfu’ (atas persetujuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam) karena dilakukan pada masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkarinya. 

Berkaitan dengan ini, Al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, “Menurut pendapat yang shahih di kalangan ahli hadits dan pakar ushul, jika ada shahabat yang mengatakan, ‘Kami lakukan itu di zaman Nabi,’ maka hal tersebut dihukumi marfu’. Sebabnya, pada dasarnya Rasulullah mengetahuinya, dan kesepakatan para shahabat membenarkannya, serta ada kesempatan bagi mereka untuk bertanya kepada Nabi tentang masalah hukum. Dengan demikian, tidak ada peluang untuk berijtihad dalam masalah ini. Oleh sebab itu, perbuatan yang mereka lakukan adalah berdasarkan tauqifi (perintah syar’i yang tidak bisa dibantah). Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 4:201–202 secara ringkas)

Al-’Allamah Al-’Aini mengatakan, “Sesungguhnya jika ada shahabat yang mengatakan, ‘Kami lakukan demikian di zaman Nabi,’ maka hukumnya marfu’, sebab diamnya Nabi menunjukkan pengakuan beliau atas tindakan itu; jika beliau tidak ridha tentu beliau akan mengingkarinya.” (Umdatul Qari’, 11:70; lihat juga Nailul Authar, 4:274)

[6] Disyariatkan untuk melatih anak-anak berpuasa.
Al-Hafizh Ibnu Hajar menyimpulkan, “Dalam hadits ini terdapat hujjah (dalil) tentang disyariatkannya pembiasaan bagi anak-anak yang berada dalam usia yang disebutkan dalam hadits, masih belum mukallaf (terkena beban hukum). Mereka melakukannya sebagai ajang latihan.” (Fathul Bari, 4:201; lihat ‘Umdatul Qari, 11:70; Nailul Authar, 4:273)

Ibnu Qudamah menjelaskan perkataan Imam Al-Khiraqi, “Kalau anak berumur sepuluh tahun dan sudah mampu berpuasa maka ia harus diperintakan untuk melakukannya.” Beliau mengatakan, “Artinya, sang anak diharuskan berpuasa dan dipukul bila meninggalkannya. Hal ini ditujukan sebagai pembiasaan dan latihan, sebagaimana dia perintahkan shalat dan disuruh melakukannya (sejak usia dini).”

Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah ‘Atha, Al-Hasan, Ibnu Sirin, Az-Zuhri, Qatadah, dan Asy-Syafi’i.

Al-Auza’i berkata, “Bila anak kecil mampu menahan puasa selama tiga hari berturut-turut, tidak batal, juga tidak merasa lemah, maka (hendaknya) ia dipaksa untuk berpuasa Ramadhan.”
Di sisi lain, Ishaq mengatakan, “Aku menyukai bila anak yang telah menginjak usia dua belas tahun diharuskan berpusa supaya dia terbiasa.” (Fathul Bari, 4:200 dan ‘Umdatul Qari, 11:69)

Kendati demikian, menjadikan usia sepuluh tahun sebagai paramater adalah lebih baik sebab Nabi menyuruh untuk memukul anak kecil jika meninggalkan shalat pada usia sepuluh tahun. Menjadikan patokan usia dalam memerintahkan anak berpuasa dengan menggunakan patokan usia perintah untuk mengerjakan shalat adalah lebih pantas, karena faktor kedekatannya. Juga karena keduanya berstatus ibadah badaniyyah dalam rukun Isam, meskipun puasa lebih berat. Oleh sebab itu, dalam hal ini faktor kemampuan tetap diperhitungkan, sebab ia (anak tersebut, pen.) mungkin bisa mengerjakan shalat tapi tidak mampu berpuasa.” (Al-Mughni, 4:412–413; lihat juga Al-Muhalla, 6:462, masalah no. 805)

Dari pernyataan Ibnu Qudamah kita dapat mengambil pelajaran bahwa anak kecil diperintahkan untuk berpuasa sebagaimana ia diperintahkan untuk shalat. Sebagian ulama juga menyatakan pendapat demikian meski mereka berbeda pandangan dalam hitungan usia anak mulai diperintah untuk mengerjakan perintah-perintah syariat tersebut.

[7] Perintah kepada anak tidak hanya untuk mengerjakan shalat dan puasa.
Akan tetapi, juga menjadi kewajiban para ayah dan ibu untuk memandu mereka melaksanakan amalan ketaatan lainnya. Tujuannya, agar mereka terbiasa dan terlatih untuk melakukannya sebelum mereka memasuki usia aqil baligh. Bertalian dengan hadits Rubayyi’ binti Mu’awwidz, Imam An-Nawawi menarik sebuah kesimpulan, “Dalam hadits ini tersirat pelatihan bagi anak untuk mengerjakan amalan ketaatan dan membiasakan mereka untuk beribadah walau mereka bukan mukallaf.” (Syarh An-Nawawi, 8:14)

Terbukti, para shahabat dahulu sangat antusias untuk mengikutsertakan anak-anak mereka dalam ketaatan serta melatih dan membiasakan mereka dalam ketaatan. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Ibnu Sa’d dan lainnya meriwayatkan dengan sanad shahih dari Ibnu ‘Abbas; beliau berkata, “Tanyailah aku tentang tafsir, sesungguhnya aku telah menghafal Alquran pada usia dini.” (Fathul Bari, 9:84)

Ringkasnya, anak-anak diperintahkan untuk mengerjakan amal ketaatan supaya mereka terbiasa dan bersimpati sebelum menginjak usia baligh. Dengan demikian, mereka akan mudah melaksanakannya saat berusia baligh.
Disarikan dari buku Mendakwahi Anak (Dasar dan Tahapannya), hlm. 58—66, karya Dr. Fadhl Ilahi, Cetakan Kedua (Mei 2006), Darus Sunnah Press, Jakarta Timur.

Jejak Jejak Ramadhan


Bagai jejak kaki di bibir pantai. Deburan ombak akan menghapusnya, embusan angin kencang akan menghilangkannya. Keshalihan tanpa pijakan keikhlasan ibarat jejak-jejak itu. Deburan godaan dunia akan menghapusnya, embusan bisikan setan akan menghilangkannya.
Selesai Ramadhan, selesai pula ketakwaannya. Berakhir Ramadhan, berakhir pula semangatnya dalam beriman dan beramal shalih.
Tanda orang yang bertaubat sepenuhnya
Jika seseorang meninggalkan maksiat di bulan Ramadhan maupun bulan-bulan setelahnya, itulah tanda ketulusan taubatnya. Jika setelah bulan Ramadhan dia kembali mendatangi kemaksiatan, keikhlasannya selama Ramadhan perlu dipertanyakan.
قال ابن المبارك المصر الذي يشرب الخمر اليوم ثم لا يشربها الى شهر وفي رواية الى ثلاثين سنة ومن نيته أنه اذا قدر على شربها شربها وقد يكون مصرا اذا عزم على الفعل في وقت دون وقت كمن يعزم على ترك المعاصي في شهر رمضان دون غيره فليس هذا بتائب مطلقا ولكنه تارك للفعل في شهر رمضان ويثاب اذا كان ذلك الترك لله وتعظيم شعائر الله واجناب محارمه في ذلك
الوقت ولكنه ليس من التائبين الذين يغفر لهم بالتوبة مغفرة مطلقة ولا هو مصر مطلقا

Ibnul Mubarak berkata,
“Seseorang dianggap belum bertaubat dari minum khamr, ketika dia minum khamr hari ini kemudian dia tinggalkan khamr selama satu bulan (dalam riwayat lain: selama tiga puluh tahun), sementara dalam niatnya, jika dia mendapat kemudahan untuk minum khamr maka dia akan menegaknya kembali.
Termasuk orang yang belum bertaubat dari maksiat, ketika dia masih berkeinginan untuk melakukan maksiat itu pada waktu tertentu, meskipun dia tinggalkan di waktu yang lain. Seperti orang yang bertekad untuk meninggalkan maksiat di bulan ramadhan, namun masih berkeinginan untuk maksiat di bulan yang lain. Orang semacam ini belum dianggap bertaubat. Namun dia hanya tinggalkan maksiat itu di bulan Ramadhan dan dia diberi pahala jika dia tinggalkan hal itu dan dia jauhi keharaman itu karena Allah dan dalam rangka mengagungkan syiar Allah.  Akan tetapi orang ini belum termasuk orang yang bertaubat, orang-orang yang mendapat ampunan karena taubatnya secara mutlak, meskipun tidak juga disebut sebagai orang yang keterusan dalam maksiat secara mutlak.” (Hilyatul Auliya’, 1:147–149)
Membuka pintu kebaikan selanjutnya
Dalam Majmu’ Al-Fatawa (bab Al-Hasanah wa As-Sayyiah, 14:240), Ibnu Taimiyyah menguraikan faidah yang sangat menarik,
“Telah disebutkan di beberapa ayat dalam Alquran bahwa sesungguhnya kebaikan kedua terkadang merupakan bentuk pahala atas kebaikan pertama. Demikian pula dengan keburukan kedua; dia terkadang merupakan hukuman atas keburukan pertama.
Allah Ta’ala berfirman,
… ولَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْراً لَّهُمْ وأَشَدَّ تَثْبِيتاً. وإذاً لآتَيْنَاهُم مِّن لَّدُنَّا أَجْراً عَظِيماً. ولَهَدَيْنَاهُمْ صِرَاطاً مُّسْتَقِيماً
… Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah hal yang demikian itu lebih baik bagi mereka dan lebih menguatkan (iman mereka). Kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yang besar dari sisi Kami, dan pasti Kami tunjuki mereka  jalan yang lurus.’ (Q.s. An-Nisa’: 66–68)
Allah Ta’ala berfirman,
والذين جاهدوا فينا لنهدينهم سبلنا
Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami ….‘ (Q.s. Al-’Ankabut: 69)
Allah Ta’ala berfirman,
والَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَلَن يُضِلَّ أَعْمَالَهُمْ. سَيَهْدِيهِمْ ويُصْلِحُ بَالَهُمْ. ويُدْخِلُهُمُ الجَنَّةَ عَرَّفَهَا لَهُمْ
… Dan orang-orang yang syahid di jalan Allah, Allah tidak akan menyia-nyiakan amal mereka. Allah akan memberi pimpinan kepada mereka, memperbaiki keadaan mereka, dan memasukkan mereka ke dalam jannah yang telah diperkenankan-Nya untuk mereka.’ (Q.s. Muhammad: 4–6)
Allah Ta’ala berfirman,
ثم كان عاقبة الذين أساءوا السوء
Kemudian, akibat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan adalah (azab) yang lebih buruk ….‘ (Q.s. Ar-Rum: 10)
Allah Ta’ala berfirman,
… كِتَابٌ مُّبِينٌ. يَهْدِي بِهِ اللَّهُ مَنِ اتَّبَعَ رِضْوَانَهُ سُبُلَ السَّلامِ
‘... Dan Kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya menuju jalan keselamatan ….‘ (Q.s. Al-Maidah: 15–16)
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وآمِنُوا بِرَسُولِهِ يُؤْتِكُمْ كِفْلَيْنِ مِن رَّحْمَتِهِ ويَجْعَل لَّكُمْ نُوراً تَمْشُونَ بِهِ ويَغْفِرْ لَكُمْ
Wahai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan Dia mengampunimu ….‘ (Q.s. Al-Hadid: 28)
Allah Ta’ala berfirman,
وفِي نُسْخَتِهَا هُدًى ورَحْمَةٌ لِّلَّذِينَ هُمْ لِرَبِّهِمْ يَرْهَبُونَ
… Dan dalam tulisannya terdapat petunjuk dan rahmat untuk orang-orang yang takut kepada Rabbnya.’ (Q.s. Al-A’raf: 154)
هذا بيان للناس و هدى و موعظة للمتقين
(Alquran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, serta petunjuk dan pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.’ (Q.s. Ali Imran: 138).”
Oleh sebab itu, jika selepas Ramadhan seseorang tetap istiqamah dalam amal shalih dan ketakwaan, maka boleh jadi itulah pertanda amal shalihnya selama Ramadhan telah diterima oleh Allah. Amal shalih dan ketakwaan itu berbuah pahala. Bentuk pahala itu adalah taufik dan istiqamah untuk terus beramal shalih setelahnya.
Iringan doa
Tak lengkap ikhtiar tanpa doa. Karenanya, ikhtiar kita selama Ramadhan juga beriring doa kita sepanjang tahun.
اللهم تقبل صيامنا وقيامنا ودعاءنا وصالح أعمالنا
Ya Allah, mohon terimalah puasa kami, shalat kami, doa kami, dan seluruh amal shalih kami.”
Semoga Allah jadikan hari kita semakin baik.
اللهم أصلح لي ديني الذي هو عصمة أمري وأصلح لي دنياي التي فيها معاشي وأصلح لي آخرتي التي فيها معادي واجعل الحياة زيادة لي في كل خير واجعل الموت راحة من كل شر
Ya Allah, mohon perbaikilah kondisi keagamaanku yang merupakan penjaga urusanku, mohon perbaikilah urusan duniaku yang menjadi ladang pencarianku, mohon perbaikilah akhiratku yang menjadi tempat kembaliku. Dan jadikanlah hidupku sebagai tambahan kebaikan bagiku serta jadikanlah kematian sebagai  kesempatan istirahatku dari segala keburukan. ”
(H.r. Muslim; diriwayatkan dari Abu Hurairah; dinilai shahih oleh Syekh Al-Albani)
Maroji’:
  • Al-Jami’ Ash-Shahih (Shahih Muslim), Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj bin Muslim Al-Qusairi, An-Naisaburi, Al-Maktabah Asy-Syamilah.
  • Hilyatul Auliya’, Abu Nu’aim Al-Ashbahani, Al-Maktabah Asy-Syamilah.
  • Majmu’ Al-Fatawa, Ahmad bin ‘Abdil Halim bin Taimiyyah Al-Harrani Abul ‘Abbas, Al-Maktabah Asy-Syamilah.
  • Shahih wa Dha’if Al-Jami’ Ash-Shaghir, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Al-Maktabah Asy-Syamilah.

Marhaban Yaa Ramadhan

“Marhaban ya Ramadhan Marhaban fi syahril mubarok wa syahril maghfiroh. Barakallau lana walakum daaiman bijami’i khoir. Wal’awfu minkum”
Sikap seorang Mukmin dalam menyambut datangnya bulan Ramadhan ini, diantaranya adalah :


1.“Alfarhu”
Hatinya merasa gembira, dan bersuka cita dengan kedatangan bulan Ramadhan ini, karena dipanggil Allah Subhanahu wata’ala untuk melaksanakan shaum, karena dirinya meengetahui sepenuhnya bahwa dengan puasa ini Allah akan mengangkat derajatnya menjadi hambaNya yg bertaqwa, sesuai dengan firmannya :
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS Al-Baqarah 183)
2. “Attazzikiyah”
Berusaha untuk membersihkan hati agar hatinya terbebas dari penyakit-penyakit hati yang menyebabkan dirinya sulit untuk mengakses “nur” rahasia hikmah yang tersembunyi di balik bulan Ramadhan dengan selalu memperbanyak bacaan istigfar, mohon ampunan kepada Allah dan tidak lupa dengan melipat gandakan sedekah kepada kaum fakir.

3.“Al ilmu”
Selalu belajar dan terus belajar untuk mencari ilmu yang sebanyak-banyaknya terutama dalam mepelajari tujuan, hikmah, keutamaan, amal-amal utama dan hal-hal yang dapat mengurangi bahkan merusak nilai ibadah puasanya.
4. “Al-Maghfirah”
Memohon ampunan dari Allah, dan meminta maaf kepada orangtua, suaminya atau istri tercintanya, tidak lupa juga kepada kerabat, saudara, handai taulan dan para tetangga serta sahabat-sahabat. Agar dimaafkan dari segala kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.

RENUNGAN Bagi si Empunya Gelar "HAJI / HAJJAH"

Suatu fenomena telah terjadi di kalangan jamaah haji khususnya dari negara kita, ketika telah selesai bertahalul maka ada sedikit perubahan dalam panggilan nama mereka yakni penambahan gelar Haji di depannya dan Hajjah bagi para wanita. Demikian pula setelah kepulangan mereka ke tanah air gelar kehormatan tersebut masih terus melekat dengan namanya, sehingga rasanya tidak afdhal jika kita memanggilnya tanpa mendahului dengan gelar itu.

Hal ini dikarenakan mulianya perjalanan ibadah tersebut yang merupakan paripurnanya rukun Islam yang lima, di samping memang membutuhkan pengorbanan yang besar baik tenaga, biaya maupun waktu sehingga tidak semua orang Islam mampu menunaikannya. Panggilan itu boleh jadi adalah sebagai penghormatan karena telah sukses melakukan acara ritual yang agung, atau mungkin juga bermula dari panggilan yang biasa digunakan oleh penduduk asli Arab ketika memanggil jamaah haji dengan “Ya Hajj” karena memang tidak tahu siapa namanya.

Bagi mereka yang memiliki latar belakang ilmu syar’i insya Allah gelar atau panggilan haji tersebut bukanlah masalah besar yang harus dipersoalkan. Artinya dia tidak akan peduli apakah orang lain nantinya akan memanggilnya dengan pak haji, bu haji atau tetap sebagaimana panggilan semula sebelum ia menjalankan ibadah haji, toh tujuan dan niatnya adalah semata-mata beribadah menuju keridhaan Allah. Dan memang demikianlah hendaknya setiap jamaah haji berniat dalam perjalanan hajinya, sebab jika niatnya lain, misalnya agar disebut sebagai bapak atau ibu haji maka ia tidak akan memperoleh apa-apa kecuali gelar dan panggilan tersebut, sedang di sisi Allah ia tak memperoleh bagian apa-apa. Hal ini dikarenakan Allah tidak akan menerima amalan kecuali yang dilakukan secara ikhlash semata-mata karenaNya di samping dilakukan menurut tuntunan yang disyari’atkan Allah dan diajarkan oleh NabiNya shallallahu 'alaihi wasallam. Firman Allah Subhanahu Wata'ala, artinya, “Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama yang lurus.” (QS. al-Bayyinah: 5)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Barang siapa melakukan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)

Dalam hadits lain, khusus berkenaan dengan haji beliau shallallahu 'alaihi wasallam bersabda, “Hendaklah kalian mengambil dariku manasik (cara-cara) kalian dalam berhaji.” (HR. Muslim)

Namun jika kita berbicara soal realita, maka teori di atas tidak sepenuhnya terpraktekkan, sebab tidak semua orang faham dan mengetahui apa tujuan haji yang sebenarnya. Bahkan orang yang sudah tahupun terkadang masih terkalahkan oleh hawa nafsunya sehingga ketika ada orang lain menyebut namanya tanpa menambahkan gelar haji di depannya, maka dadanya agak terasa sempit dan telinga sedikit merah karena kurang suka, lebih-lebih jika itu di depan khalayak ramai. Bahkan di antara mereka ada yang ketika dipanggil namanya tidak menjawab sebagaimana mestinya tapi malah berujar, “Saya sudah dua kali pergi haji lho!” Yakni menghendaki agar orang lain memanggilnya dengan gelar haji.

Dalam kasus ini perlu digaris bawahi bahwa kita bukannya bermaksud melarang orang menghormati orang lain dengan memberi gelar haji. Yang perlu diluruskan adalah bahwa perjalanan haji adalah perjalanan ibadah untuk menuju Allah Subhanahu Wata'ala dan mengharap keridhaanNya, bukan untuk mendapatkan embel-embel tersebut. Adapun setelah itu ada orang yang memanggil dengan bapak atau ibu haji, maka itu adalah persoalan lain dan bukan tujuan, hanya saja jika kebiasaan tersebut tidak dibudayakan bisa jadi itu akan memperbaiki niat orang yang akan melakukan rukun Islam kelima ini.

Makna haji yang sebenarnya

Al-Allamah Abu Abdillah Muhammad bin Abdir Rahman Al Bukhari Al Hanafi menjelaskan bahwa haji (al hajj) maknanya adalah bermaksud atau menuju (al qashdu). Niat dan maksud adalah pekerjaan yang paling utama sebab ia hanya dilakukan oleh anggota badan termulia yaitu hati. Karena ibadah haji ini merupakan ibadah yang besar dan sangat utama, juga memuat ketaatan yang sangat berat, maka disebutlah ia al hajj yang berarti al-Qashdu (dinisbatkan kepada amalan hati karena keutamaannya, red). Dan mengenai pentingnya niat dalam haji dan umrah Allah Subhanahu Wata'ala telah berfirman, artinya,“Dan sempurnakanlah haji dan umrah itu karena Allah.” (QS. al-Baqarah: 196).

Oleh karena itu seseorang yang akan pergi haji meskipun pergi menuju baitullah (ka’bah) namun sebenarnya yang jadi tujuan adalah Rabbul Ka’bah Allah Rabb seru sekalian alam. Maka ketika seorang haji tiba di Ka’bah, dan sebelumnya ia tahu bahwa pemilik rumah tersebut tidak ada di sana, berputar-putarlah ia mengelilingi rumah itu yakni thawaf, dan ini merupakan isyarat bahwa ka’bah bukanlah maksud dan tujuan namun Allah Subhanahu Wata'ala pemilik Ka’bahlah tujuannya.

Begitu pula ketika mencium hajar aswad bukanlah bertujuan untuk menyembah batu, tapi semata-mata karena mengikuti sunnah Rasul. Dan inilah yang membedakan antara seorang muslim dan musyrik. Dulu kaum musyrikin menciumnya karena benar-benar menyembahnya, sedang seorang muslim melakukan itu adalah karena mengikuti sunnah.

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu mengibaratkan bahwa mencium hajar aswad seolah-olah ia menjabat atau mencium tangan kanan Allah, sehingga ketika seorang haji menyentuhnya hendaknya tertanam dalam benak bahwa ia sedang berbai’at kepada Allah Subhanahu Wata'ala, pencipta dan pemilik hajar aswad yang telah memerintahkan untuk melakukan itu. Berbai’at disini maknanya berjanji untuk selalu taat dan tunduk kepada Allah Subhanahu Wata'ala, kemudian selalu ingat bahwa jika mengkhianati bai’at tersebut akan berhadapan dengan murkaNya.

Dari sini para ulama menganjurkan bahwa kewajiban pertama bagi calon haji adalah bertaubat, memperbaiki ketakwaan dan inilah sebaik-baik bekal. Allah Subhanahu Wata'ala telah berfirman, artinya, “Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. al-Baqarah: 197). Dan tak mungkin seseorang akan membawa bekal takwa ini jika tidak bertaubat dan meninggalkan segala jenis kemaksiatan.

Jika orang yang berhaji telah memahami apa makna dan tujuannya dalam berhaji, maka ketika melantunkan talbiyah akan meresap dalam jiwa bahwa seolah-olah ia sedang meninggalkan segala atribut keduniaan dan menuju Allah seraya mengatakan, “Ya Allah aku datang, aku datang memenuhi panggilanMu, aku berdiri di pintuMu, aku singgah di sisiMu. Aku pegang erat kitabMu, aku junjung tinggi aturanMu, maka selamatkan aku dari adzabMu, kini aku siap menghamba kepadaMu, merendahkan diri dan berkiblat kepadaMu. MilikMu segala ciptaan, bagimu segala aturan dan perundang-undangan, bagiMu seluruh hukum dan hukuman, tiada sekutu bagiMu. Tak peduli aku berpisah dengan sanak keluarga, ku tinggalkan profesi dan pekerjaan, kulepas segala atribut dan jabatan karena tujuanku hanyalah wajah dan keridhaanMu, bukan dunia yang fana bukan nafsu yang serakah maka amankan aku dari adzabMu. “

Setelah Para Haji Pulang

Banyak oleh-oleh yang dibawa pulang oleh para jama’ah haji, namun ada satu oleh-oleh yang sangat besar dan berharga, dan hanya bisa disimpan dalam hati dan dada. Oleh-oleh yang tak akan habis jika dibagi-bagikan kepada orang lain bahkan malah kian bertambah dan semua orang pasti suka untuk menerimanya. Tak lain adalah kebersihan jiwa dan akhlak. Inilah barang termahal yang selayaknya dibawa pulang oleh mereka yang menunaikan haji. Alangkah indahnya jika sepulang haji yang kikir menjadi dermawan, penjahat menjadi penebar salam, bandar judi menjadi ketua majlis ta’lim, dan ribuan bahkan jutaan orang merubah jalan hidupnya bersama-sama satu tujuan menuju Allah Subhanahu Wata'ala. Tak ada lagi pejabat penerima sogok, hakim berat sebelah, pengusaha ataupun pedagang licik, curang dan lain-lain.

Apalah artinya pergi haji jika hanya sekedar untuk menambah gelar namun yang korup tetap korup, yang lintah darat tetap lintah darat, yang bakhil malah makin menjadi-jadi. Padahal perbuatan jahat dan fasik itu harus ditinggalkan kapan saja bukan hanya ketika melakukan haji. Jika seseorang masih sama buruk dan jahatnya antara sebelum dan sesudah haji bahkan malah lebih parah, maka suatu pertanda bahwa kepergiannya ke tanah suci hanyalah sia-sia sebab ia tak mampu mengambil sesuatu yang paling berharga dari perjalanan tersebut.

Sebagai khatimah hendaknya setiap orang yang akan melakukan ibadah haji sadar dan mengetahui bahwa perjalanan yang akan ia tempuh adalah perjalanan ibadah yang agung dan mulia sehingga harta yang digunakan untuk itu adalah dari penghasilan yang baik dan halal. Di samping itu ia harus mempelajari tata cara manasik yang benar, sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Dengan demikian diharapkan haji yang ia lakukan akan menjadi haji yang mabrur yang diterima di sisi Allah Subhanahu Wata'ala bukannya maghrur (tertipu) atau mabur (bahasa Jawa) yang hanya sekedar terbang naik pesawat saja.

Janganlah sekali-kali kita punya niat hanya agar mendapat gelar pak haji dan bu haji, lalu bangga jika orang memanggil dengan sebutan itu, sekali-kali jangan. Kalau seandainya orang satu kampung tidak ada yang memanggil kita dengan gelar itu, maka sesungguhnya Allah Subhanahu Wata'ala Maha Tahu bahwa kita telah menunaikannya dan akan memberi balasan sesuai dengan niat dan usaha kita. Wallahu a’lam. Abu Ahmad

Sumber : Khutbah Jum’at Pilihan Setahun, Yayasan Al-Sofwa, Fikih Nasehat, Fariq Gassim Anuz, Pustakan Azam, sumber-sumber lain.

Kiat Menghindari Maksiat

Setiap manusia pernah berbuat dosa dan kesalahan, baik besar ataupun kecil. Rasulullah bersabda, “Setiap anak Adam pernah melakukan kesalahan dan sebaik-baik orang yang melakukan kesalahan adalah orang-orang yang bertaubat.” (HR. Ibnu Majah, no, 4251)

Bahkan para Nabi pun tidak luput dari kesalahan, dan mereka bertaubat kepada-Nya. Seperti nabi Adam pernah melanggar perintah Allah dengan mendekati pohon larangan, kemudian beliau bertaubat dan berdoa kepada Allah, artinya, “Ya Tuhan kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. al-A’raf: 23)

Pada zaman ini, sarana kemaksiatan semakin banyak, orang semakin sulit menghindari racun yang ditimbulkan oleh kemaksiatan tersebut. Walaupun demikian ada beberapa kiat agar terhindar dari kemaksiatan, yaitu;

1. Menganggap Besar Dosa

Orang yang beriman dan bertakwa selalu menganggap besar dosa-dosa, meskipun dosa yang dilakukan tergolong dosa kecil. Mereka merasa terbebani dengan dosa tersebut dan menganggap besar kekurangan dirinya di sisi Allah.

Ibnu Mas’ud berkata, “Orang beriman melihat dosa-dosanya seolah-olah ia duduk di bawah gunung, ia takut gunung tersebut menimpanya. Sedangkan orang yang fajir (suka berbuat dosa) melihat dosanya seperti lalat yang lewat di depan hidungnya.”

Bilal bin Sa’d mengatakan, “Jangan kamu melihat pada kecilnya dosa, tetapi lihatlah kepada siapa kamu bermaksiat.”

2. Jangan Meremehkan

Rasulullah bersabda, “Janganlah kamu meremehkan dosa, seperti kaum yang singgah di perut lembah. Lalu seseorang datang membawa ranting dan seorang lainnya lagi datang membawa ranting sehingga mereka dapat menanak roti mereka. Kapan saja orang yang melakukan suatu dosa menganggap remeh dosa, maka ia dapat membinasakannya.”(HR. Ahmad dengan sanad hasan)

3. Jangan Mujaharah

Mujaharah adalah melakukan kemaksiatan, dan menceritakan kemaksiatan tersebut kepada manusia. Pelaku maksiat yang mujaharah lebih besar dosanya daripada yang melakukan dosa tanpa mujaharah. Rasulullah bersabda, “Semua umatku dimaafkan kecuali mujahirun (orang yang terang-terangan dalam bermaksiat). Termasuk mujaharah ialah seseorang yang melakukan suatu amal (keburukan) pada malam hari kemudian pada pagi harinya ia membeberkannya, padahal Allah telah menutupinya, ia berkata, ‘Wahai fulan, tadi malam aku telah melakukan demikian dan demikian.’ Pada malam hari Tuhannya telah menutupi kesalahannya tetapi pada pagi harinya ia membuka tabir Allah yang menutupinya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

4. Taubat Nasuha

Allah berfirman, artinya, “Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. an-Nur: 31)

Rasulullah bersabda, “Allah lebih bergembira dengan taubat hamba-Nya tatkala bertaubat daripada seorang di antara kamu yang berada di atas kendaraannya di padang pasir yang tandus. Kemudian kendaraan itu hilang darinya, padahal di atas kendaraan itu terdapat makanan dan minumannya. Ia sedih kehilangan itu, lalu ia menuju pohon dan tidur di bawah naungannya dalam keadaan bersedih terhadap kendaraannya. Saat ia dalam keadaan seperti itu, tiba-tiba kendaraannya muncul di dekatnya, lalu ia mengambil tali kendalinya. Kemudian ia berkata, karena sangat bergembira, ‘Ya Allah Engkau adalah hambaku dan aku adalah Tuhanmu’. Ia salah ucap karena sangat bergembira.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

5. Mengulangi Taubat

Rasulullah bersabda, “Seorang hamba melakukan dosa, maka ia berkata, ‘Wahai Tuhanku, aku telah melakukan suatu dosa, maka ampunilah!’ Tuhannya berfirman, ‘Hamba-Ku tahu bahwa ia memiliki Tuhan yang akan mengampuni dosanya. Aku telah mengampuni hamba-Ku.’ Kemudian hamba tersebut mengulangi lagi berbuat dosa, maka ia berkata, ‘Wahai Tuhanku, aku telah melakukan dosa lagi, maka ampunilah!’. Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku tahu bahwa ia memiliki Tuhan yang akan mengampuni dosanya. Aku telah mengampuni hamba-Ku.’ Kemudian hamba tersebut mengulangi lagi berbuat dosa, maka ia berkata, ‘Wahai Tuhanku, aku telah melakukan dosa kembali, maka ampunilah dosaku!’.Lalu Allah berfirman, ‘Hamba-Ku tahu bahwa ia memiliki Tuhan yang akan mengampuni dosanya. Aku telah mengampuni hamba-Ku.’ Tiga kali; maka lakukanlah apa yang ia suka.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Ali bin Abi Thalib berkata, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang diuji (dengan dosa) lagi bertaubat.” Ditanyakan, ‘Jika ia mengulangi lagi?’ Ia menjawab, ‘Ia beristighfar kepada Allah dan bertaubat.’ Ditanyakan, ‘Jika ia kembali berbuat dosa?’ Ia menjawab, ‘Ia beristighfar kepada Allah dan bertaubat.’ Ditanyakan, ‘Sampai kapan?’ Dia menjawab, ‘Sampai setan berputus asa.”’

6. Senantiasa Beristighfar

Saat-saat beristighfar:
Ketika melakukan dosa
Setelah melakukan ketaatan
Dalam dzikir-dzikir rutin harian
Beristighfar setiap saat
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya sesuatu benar-benar menutupi hatiku, dan sesungguhnya aku beristighfar kepada Allah dalam sehari 100 kali.” (HR. Muslim, No. 2702)

7. Melakukan Kebajikan Setelah Keburukan

Rasulullah bersabda, “Bertakwalah kepada Allah di mana saja kamu berada, dan iringilah keburukan dengan kebajikan maka kebajikan itu akan menghapus keburukan tersebut, serta perlakukanlah manusia dengan akhlak yang baik.” (HR. Ahmad dan at-Tirmidzi. At-Tirmidzi menilai hadits ini hasan shahih)

8. Memurnikan Tauhid

Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Ketika Rasulullah dalam perjalanan pada malam yang berakhir di Sidratul Muntaha, beliau diberi tiga perkara: diberi shalat lima waktu, penutup surat al-Baqarah, dan diampuninya dosa orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu pun dari umatnya.” (HR. Muslim)

Rasulullah bersabda, “Allah berfirman, ‘Barangsiapa yang melakukan kebajikan, maka ia mendapatkan pahala sepuluh kebajikan dan Aku tambah dan barangsiapa yang melakukan keburukan, maka balasannya satu keburukan yang sama, atau diampuni dosanya. Barangsiapa yang mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta dan barangsiapa yang mendekat kepada-Ku sehasta, maka Aku mendekat kepadanya sedepa; barangsiapa yang datang kepada-Ku dengan berjalan, maka Aku datang kepadanya dengan berlari. Barangsiapa yang menemui-Ku dengan dosa sepenuh bumi tanpa menyekutukan Aku dengan sesuatu apapun, maka Aku menemuinya dengan maghfirah yang sama.’” (HR. Muslim dan Ahmad)

9. Bergaul Dengan Orang-Orang Shalih

Manfaat bergaul dengan orang shalih:
Bersahabat dengan orang-orang baik adalah amal shalih
Mencintai orang-orang shalih menyebabkan seseorang bersama mereka di Surga, walaupun ia tidak mencapai kedudukan mereka dalam amal
Manusia itu terdiri dari 3 golongan, yaitu,

a. Golongan yang membawa dirinya dengan takwa dan mencegahnya dari kemaksiatan. Inilah golongan terbaik.

b. Golongan yang melakukan kemaksiatan dalam keadaan takut dan menyesal. Ia merasa dirinya berada dalam bahaya yang besar, dan ia berharap suatu hari dapat berpisah dari kemaksiatan tersebut.

c. Golongan yang mencari kemaksiatan, bergembira dengannya dan menyesal karena kehilangan hal itu.

4. Penyesalan dan penderitaan karena melakukan kemaksiatan hanya dapat dipetik dari persahabatan yang baik.

5. Jika berpisah dengan orang-orang yang baik, maka biasanya akan berteman dengan orang yang buruk dan pelaku maksiat.

10. Jangan Mencela Perbuatan Dosa Orang Lain

Rasulullah menceritakan kepada para shahabat bahwa seseorang berkata, “Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni si fulan.” Allah berkata, ”Siapakah yang bersumpah atas nama-Ku bahwa Aku tidak mengampuni si fulan? Sesungguhnya Aku telah mengampuni dosanya dan Aku telah menghapus amalmu.” (HR. Muslim).

[Sumber: “Sabiilun Najah min Syu’umil Ma’shiyyah,” karangan Muhammad bin Abdullah ad-Duwaisy, edisi Indonesia: “13 Penawar Racun kemaksiatan,” Darul Haq, Jakarta.]

Sudahkah Anda Shalat ?

 

© Copyright YAYASAN AR-RAHMAH 2012 | Design by Herdiansyah Hamzah | Published by Borneo Templates | Powered by Blogger.com.