Suatu malam seorang laki-laki menengadahkan kedua tangannya ke atas, menghadapkan wajahnya ke arah langit, pandangannya penuh harap dan terlihat memelas, suaranya terdengar terbata-bata meminta sesuatu kepada Sang Pencipta Allah, “Ya Rabbi yang Maha membolak-balikkan hati setiap hamba, berikanlah hamba petunjuk, turunkanlah taufik dan inayah-Mu kepada Hamba, berikanlah hamba keselamatan di dunia dan di akhirat.” Sayup-sayup terdengar deru tangisan dan gemiricik tetesan air mata, sepertinya orang itu benar-benar mengharapkan petunjuk dan keselamatan.
Namun keesokan harinya, dia terlihat santai bersantap pagi sambil mendengarkan lantunan musik di pagi hari. Lidah dan mulutnya begitu fasih mengikuti bait demi bait syair lagu yang didengarnya. Tatapan matanya tak berkedip menyaksikan tayangan film di layar kaca. Sementara tangan kanan dan kirinya berlomba-lomba memindahkan remote control dan batang rokok untuk menemaninya menonton televisi. Makanan, minuman, dan apa-apa yang dia kenakan adalah makanan yang haram, minuman yang haram, pakaian yang dilarang atau yang dihasilkan dari perbuatan yang haram.
Siang hari dia bermaksiat kepada Allah dan di malam hari dia meminta hidayah-Nya atau sebaliknya. Apakah permintaannya bisa terlaksana? Apakah doanya bisa terkabulkan? Apakah impian mendapatkan hidayah bisa terwujudkan? Ataukah itu hanya sekadar impian dan angan-angan kosong yang menjejali hari-hari dan malamnya?
Jawabnya tentu tidak, sekali-kali tidak. Hal di atas telah diilustrasikan oleh junjungan kita, baginda Nabi dalam hadits beliau yang mulia, yang disampaikan oleh sahabat yang mulia, Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah itu Baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik saja (halalan thayyiban). Dan Allah telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman seperti yang telah Dia perintahkan kepada para Rasul, (agar memakan yang halal dan beramal shalih). Maka Allah berfirman (kepada para Rasul), artinya, “Wahai para Rasul makanlah makanan yang halal dan lakukanlah amal shalih.”(al-Mukminun: 51) Dan firman-Nya (kepada orang-orang yang beriman), artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan-makanan yang halal yang telah kami rizkikan kepada kalian.” (al-Baqarah: 172). Kemudian Rasulullah menyebutkan, “Seorang yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya acak-acakan penuh dengan debu, menengadahkan tangannya ke langit seraya berkata, “Ya Rabbi, ya Rabbi,” sementara makanannya adalah dari hasil yang diharamkan, minumannya adalah dari hasil yang diharamkan, pakaiannya adalah dari hasil yang diharamkan, dan suplemen dari yang haram, maka apatah mungkin doanya dikabulkan.” (HR. Muslim)
Laksana seorang petani yang mengharapkan hasil panen melimpah tapi dia tidak pernah merawat tanamannya, atau dia menyiramnya dengan bensin atau minyak tanah. Akankah panen melimpah yang diharapkan bisa terkabulkan? Yang ada, dan itu adalah pasti adanya hanyalah kerugian dan kebangkrutan.
Seperti seorang nelayan yang menangkap ikan di lautan dengan harapan mendapatkan hasil tangkapan yang besar dan melimpah, tapi dia hanya membawa umpan berupa ikan-ikan kecil, kail dan jala yang rapuh, atau mungkin umpan yang tidak disukai oleh ikan. Akankah tangkapan besar dan melimpah yang dia harapkan bisa terlaksana? Ataukah itu hanya sekadar mimpi indah yang menghiasai alam khayalnya? Maka jawabnya adalah itu bagaikan mimpi di siang bolong.
Bagaikan pekerja yang ingin meraih kesuksesan, tapi daya dan upaya yang dia keluarkan tidak maksimal, jalan yang dia tempuh tidak tepat, maka bukan kesuksesan yang dia raih, tapi yang tersisa adalah kegagalan dan kehampaan.
Atau masih banyak lagi aspek kehidupan yang diidam-idamkan dan dicita-citakan akan terwujud dan terlaksana, menjadi buyar dan sirna disebabkan langkah dan faktor untuk meraihnya tidak terlaksana atau bahkan salah.
Tepatlah apa yang diungkapkan dalam sebuah syair,
Namun keesokan harinya, dia terlihat santai bersantap pagi sambil mendengarkan lantunan musik di pagi hari. Lidah dan mulutnya begitu fasih mengikuti bait demi bait syair lagu yang didengarnya. Tatapan matanya tak berkedip menyaksikan tayangan film di layar kaca. Sementara tangan kanan dan kirinya berlomba-lomba memindahkan remote control dan batang rokok untuk menemaninya menonton televisi. Makanan, minuman, dan apa-apa yang dia kenakan adalah makanan yang haram, minuman yang haram, pakaian yang dilarang atau yang dihasilkan dari perbuatan yang haram.
Siang hari dia bermaksiat kepada Allah dan di malam hari dia meminta hidayah-Nya atau sebaliknya. Apakah permintaannya bisa terlaksana? Apakah doanya bisa terkabulkan? Apakah impian mendapatkan hidayah bisa terwujudkan? Ataukah itu hanya sekadar impian dan angan-angan kosong yang menjejali hari-hari dan malamnya?
Jawabnya tentu tidak, sekali-kali tidak. Hal di atas telah diilustrasikan oleh junjungan kita, baginda Nabi dalam hadits beliau yang mulia, yang disampaikan oleh sahabat yang mulia, Abu Hurairah, dia berkata, Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya Allah itu Baik dan tidak menerima kecuali yang baik-baik saja (halalan thayyiban). Dan Allah telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman seperti yang telah Dia perintahkan kepada para Rasul, (agar memakan yang halal dan beramal shalih). Maka Allah berfirman (kepada para Rasul), artinya, “Wahai para Rasul makanlah makanan yang halal dan lakukanlah amal shalih.”(al-Mukminun: 51) Dan firman-Nya (kepada orang-orang yang beriman), artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah makanan-makanan yang halal yang telah kami rizkikan kepada kalian.” (al-Baqarah: 172). Kemudian Rasulullah menyebutkan, “Seorang yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya acak-acakan penuh dengan debu, menengadahkan tangannya ke langit seraya berkata, “Ya Rabbi, ya Rabbi,” sementara makanannya adalah dari hasil yang diharamkan, minumannya adalah dari hasil yang diharamkan, pakaiannya adalah dari hasil yang diharamkan, dan suplemen dari yang haram, maka apatah mungkin doanya dikabulkan.” (HR. Muslim)
Laksana seorang petani yang mengharapkan hasil panen melimpah tapi dia tidak pernah merawat tanamannya, atau dia menyiramnya dengan bensin atau minyak tanah. Akankah panen melimpah yang diharapkan bisa terkabulkan? Yang ada, dan itu adalah pasti adanya hanyalah kerugian dan kebangkrutan.
Seperti seorang nelayan yang menangkap ikan di lautan dengan harapan mendapatkan hasil tangkapan yang besar dan melimpah, tapi dia hanya membawa umpan berupa ikan-ikan kecil, kail dan jala yang rapuh, atau mungkin umpan yang tidak disukai oleh ikan. Akankah tangkapan besar dan melimpah yang dia harapkan bisa terlaksana? Ataukah itu hanya sekadar mimpi indah yang menghiasai alam khayalnya? Maka jawabnya adalah itu bagaikan mimpi di siang bolong.
Bagaikan pekerja yang ingin meraih kesuksesan, tapi daya dan upaya yang dia keluarkan tidak maksimal, jalan yang dia tempuh tidak tepat, maka bukan kesuksesan yang dia raih, tapi yang tersisa adalah kegagalan dan kehampaan.
Atau masih banyak lagi aspek kehidupan yang diidam-idamkan dan dicita-citakan akan terwujud dan terlaksana, menjadi buyar dan sirna disebabkan langkah dan faktor untuk meraihnya tidak terlaksana atau bahkan salah.
Tepatlah apa yang diungkapkan dalam sebuah syair,
تَرْجُو النَّجَاةَ وَلَمْ تَسْلُكْ مَسَالِكَهَا
إِنَّ السَّفِيْنَةَ لَا تَجْرِي عَلَى الْيَبَسِ
Sesungguhnya bahtera tak akan bisa berlayar di daratan.
Siapakah di antara kita yang tidak menginginkan kesuksesan, apalagi kesuksesan di dua alam; alam dunia dan alam akhirat. Kesuksesan yang hanya diraih dengan hidayah dan taufiq dari Allah.
Ya, dari hidayah Allah, bermula keimanan, ketaatan, keistiqamahan, dan bermuara pada kesuksesan; di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, setiap orang menginginkan hidayah, baik dia kafir atau mukmin, karena orang kafir membutuhkan hidayah Islam agar selamat dari api neraka. Orang mukmin juga membutuhkan hidayah agar ia tetap istiqamah dalam ketaatan dan jauh dari kemaksiatan. Jadi, setiap dari kita membutuhkan hidayah.
Bagaimana mungkin kita tidak membutuhkannya, sementara Rasulullah orang yang paling mulia di jagat raya, tak luput dari meminta hidayah kepada Allah, seringkali beliau berdoa dengan doa berikut,
Ya, dari hidayah Allah, bermula keimanan, ketaatan, keistiqamahan, dan bermuara pada kesuksesan; di dunia dan di akhirat. Oleh karena itu, setiap orang menginginkan hidayah, baik dia kafir atau mukmin, karena orang kafir membutuhkan hidayah Islam agar selamat dari api neraka. Orang mukmin juga membutuhkan hidayah agar ia tetap istiqamah dalam ketaatan dan jauh dari kemaksiatan. Jadi, setiap dari kita membutuhkan hidayah.
Bagaimana mungkin kita tidak membutuhkannya, sementara Rasulullah orang yang paling mulia di jagat raya, tak luput dari meminta hidayah kepada Allah, seringkali beliau berdoa dengan doa berikut,
اَللَّهُمَّ آتِ نَفْسِيْ تَقْوَاهَا وَزَكِّهَا أَنْتَ خَيْرُ مَنْ زَكَّاهَا أَنْتَ وَلِيُّهَا وَمَوْلَاهَا
Hidayah ini adalah karunia dan bonus dari Allah bagi kita untuk mengarungi kehidupan ini. Hanya saja tidak semua dari kita bisa mendapatkannya, bisa jadi karena jalan yang kita tempuh tidak maksimal atau mungkin kita salah jalan, tapi yang jelas hidayah iman dan amal itu adalah hak prerogratif Allah, Dia yang berhak menentukan orang ini mendapatkan hidayah dan yang lain tidak mendapatkannya. Hanya kepada Allah-lah kita memohon pertolongan dan bertawakkal..
Berikut ini adalah jalan yang bisa kita tempuh untuk meraih hidayah Allah.
Pertama; Berilmu. Ilmu yang paling utama adalah ilmu tentang Allah, artinya kita mengenal Allah, sifat-sifat-Nya, nama-nama-Nya, mana yang Dia syariatkan dan yang tidak disyariatkan, apa yang Dia halalkan dan apa yang Dia haramkan. Oleh karena itu Allah berfirman, yang artinya, “Ketahuilah bahwa tidak ada Ilah yang berhak disembah dengan benar selain Allah. Kemudian minta ampunlah atas dosa-dosamu.” (Muhammad: 19)
Dalam ayat tersebut, Allah mengedepankan kata “Ketahuilah” atau jadilah orang yang berilmu sebelum kamu beriman dan beramal. Kemudian menyebutkan setelahnya amal seorang hamba yaitu agar dia beristighfar dan bertaubat. Jadi orang yang ingin mendapatkan hidayah maka hendaklah dia berilmu, kemudian mengikuti jalan selanjutnya seperti yang Allah sebutkan dalam ayat di atas, yaitu;
Kedua; Beristighfar, bertaubat dan kembali kepada Allah. Karena ini adalah jalan utama yang harus ditempuh oleh seorang hamba untuk menggapai dan meraih hidayah dari Allah. Karena Allah telah janjikan dalam surat ar-Ra’d, ayat ke-27, yang artinya, “Dan Allah memberikan hidayah kepada orang yang bertaubat dan kembali kepada-Nya.” Apabila seorang hamba bertaubat dan kembali ke syariat Allah, kemudian Allah terima taubatnya, maka itu adalah awal dari hidayah Allah.
Dalam ayat tersebut, Allah mengedepankan kata “Ketahuilah” atau jadilah orang yang berilmu sebelum kamu beriman dan beramal. Kemudian menyebutkan setelahnya amal seorang hamba yaitu agar dia beristighfar dan bertaubat. Jadi orang yang ingin mendapatkan hidayah maka hendaklah dia berilmu, kemudian mengikuti jalan selanjutnya seperti yang Allah sebutkan dalam ayat di atas, yaitu;
Kedua; Beristighfar, bertaubat dan kembali kepada Allah. Karena ini adalah jalan utama yang harus ditempuh oleh seorang hamba untuk menggapai dan meraih hidayah dari Allah. Karena Allah telah janjikan dalam surat ar-Ra’d, ayat ke-27, yang artinya, “Dan Allah memberikan hidayah kepada orang yang bertaubat dan kembali kepada-Nya.” Apabila seorang hamba bertaubat dan kembali ke syariat Allah, kemudian Allah terima taubatnya, maka itu adalah awal dari hidayah Allah.
Ketiga; Beriman. Iman adalah sebab terbesar dalam meraih hidayah Allah. Beriman dalam artian seseorang meyakini rukun iman yang enam, membenarkannya dengan hati nurani, mengucapkannya (syahadatain) dengan lisan, dan mengamalkannya dengan anggota badan. Iman ini bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Sehingga apabila iman ini benar yaitu yang disertai dengan amal shalih, maka Allah akan mengokohkan hidayah di hati pemiliknya. Sebagaimana Allah sebutkan dalam firman-Nya, artinya, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah, Allah berikan petunjuk di hatinya.” (at-Taghabun: 11). Allah juga berfirman, artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal shalih, Allah akan memberikan petunjuk kepada mereka.” (Yunus: 9). Yang terakhir adalah
Keempat; Berdoa. Ini adalah senjata paling ampuh untuk mendatangkan hidayah Allah, apalagi kalau jalan-jalan sebelumnya telah dilewati dan yang tersisa adalah jalan yang keempat ini, maka tunggulah hidayah itu pasti akan datang, karena Allah sendiri yang telah menjaminnya dalam firman-Nya, artinya, “Rabbmu berkata, “Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan doa kalian.” (Ghafir: 60). Jika demikian, maka sepantasnya kita yang tujuh belas kali dalam sehari semalam meminta hidayah kepada-Nya dalam amal yang sangat dicintai-Nya, mendapatkan hidayah-Nya karena itulah permintaan kita ketika membaca firman-Nya, yang artinya, “Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (al-Fatihah: 6)
Keempat; Berdoa. Ini adalah senjata paling ampuh untuk mendatangkan hidayah Allah, apalagi kalau jalan-jalan sebelumnya telah dilewati dan yang tersisa adalah jalan yang keempat ini, maka tunggulah hidayah itu pasti akan datang, karena Allah sendiri yang telah menjaminnya dalam firman-Nya, artinya, “Rabbmu berkata, “Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Aku kabulkan doa kalian.” (Ghafir: 60). Jika demikian, maka sepantasnya kita yang tujuh belas kali dalam sehari semalam meminta hidayah kepada-Nya dalam amal yang sangat dicintai-Nya, mendapatkan hidayah-Nya karena itulah permintaan kita ketika membaca firman-Nya, yang artinya, “Tunjukilah kami jalan yang lurus.” (al-Fatihah: 6)
Semoga jalan hidayah di atas bisa kita tempuh dan dalam waktu yang singkat hidayah itu menghampiri kita. Allahuma amin. (Widyan Wahyudi Abu Abdillah)
0 komentar:
Posting Komentar